Syubhat Jacky Noordien, Alumni Gontor yang Terjerumus ke Syi’ah

Jacky Noordien, alumni KMI Pondok Modern Darussalam Gontor tahun 2000, beragama Pembela Nabi SAW & Ahlul baitnya, pernah kuliah di IAIN Sunan Gunung Ampel Surabaya Jurusan Pendidikan Agama Islam (profil di http://www.facebook.com/groups/ibnu.khusaini/?id=260251500660804&notif_t=group_activity#!/jacky.noordien). Dia teman satu angkatan dengan saya semasa nyantri di KMI Gontor. Terus terang, saya tidak begitu akrab dengannya semasa nyantri dulu, tetapi bertemu muka saat di ma’had pasti sangat sering.

Setelah saya berikan jawaban secara ilmiah tentang kemunkaran hadits tha’an terhadap sahabat yang mulia, Muawiyah, radhiyallahu ‘anhu, kini dia melempar syubhat lain di grup Facebook Laviola 2000. Mumpung weekend, saya luangkan waktu untuk sekedar naql dari riwayat hadits dan tulisan para ahli ilmu sebagai jawaban dari beberapa pertanyaan syubat-nya, semoga Allah menunjukkan yang haqq itu haqq dan yang bathil itu bathil. Allahumma ‘il’an man la’ana shahabah rasulilllah shallallahu alaihi wa sallam.

Syubhat Jacky Noordien

Jack Noordien melempar syubhat

Jack Noordien melempar syubhat

Syubhat Jack Noerdin muqallid Syi'i

Syubhat Jack Noerdin muqallid Syi'i

Apakah Nabi Muhammad shalallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk khalifah sebagai pengganti beliau?

Al-Bukhaariy telah meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَخْبَرَنَا أَزْهَرُ أَخْبَرَنَا ابْنُ عَوْنٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ قَالَ ذُكِرَ عِنْدَ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصَى إِلَى عَلِيٍّ فَقَالَتْ مَنْ قَالَهُ لَقَدْ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنِّي لَمُسْنِدَتُهُ إِلَى صَدْرِي فَدَعَا بِالطَّسْتِ فَانْخَنَثَ فَمَاتَ فَمَا شَعَرْتُ فَكَيْفَ أَوْصَى إِلَى عَلِيٍّ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad : Telah mengkhabarkan kepada kami Azhar : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim, dari Al-Aswad, ia berkata : Disebutkan di sisi ‘Aaisyah : ‘Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan sesuatu (secara khusus) kepada ‘Aliy’. Maka ia berkata : “Sungguh aku melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menyandarkannya di dadaku. Maka beliau meminta sebuah bejana. Badan beliau pun melemas, beliau melemas dan aku tidak sadar bahwa beliau sudah wafat, lalu kapan beliau memberinya wasiat kepada ‘Aliy ?” [Shahih Al-Bukhaariy, no. 4459].
Perkataan di atas merupakan sanggahan ‘Aaisyah Ummul-Mukminiin terhadap klaim wasiat kekhalifahan kepada ‘Aliy yang dihembus-hembuskan ‘Abdullah bin Saba’ pada masa kekhilafahan ‘Utsman bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu. Ia (‘Aaisyah) adalah orang yang paling tahu segala sesuatu dari diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di akhir hayatnya, karena beliau wafat di rumahnya dan ia menjadi saksi atas kematian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam (lihat pula hadits dalam Shahih Al-Bukhaariy no. 4450).  Tidak ada wasiat kekhalifahan kepada ‘Aliy, tidak pula kepada yang lainnya radliyallaahu ‘anhum.
Bahkan menjelang wafatnya beliau, ‘Aliy sempat diajak oleh Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa untuk menanyakan perihal pewaris kekhalifahan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Mari kita simak haditsnya:
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا بِشْرُ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ أَبِي حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ الْأَنْصَارِيُّ وَكَانَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ أَحَدَ الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ تِيبَ عَلَيْهِمْ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ أَخْبَرَهُ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ خَرَجَ مِنْ عِنْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَجَعِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَقَالَ النَّاسُ يَا أَبَا حَسَنٍ كَيْفَ أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَصْبَحَ بِحَمْدِ اللَّهِ بَارِئًا فَأَخَذَ بِيَدِهِ عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لَهُ أَنْتَ وَاللَّهِ بَعْدَ ثَلَاثٍ عَبْدُ الْعَصَا وَإِنِّي وَاللَّهِ لَأَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْفَ يُتَوَفَّى مِنْ وَجَعِهِ هَذَا إِنِّي لَأَعْرِفُ وُجُوهَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عِنْدَ الْمَوْتِ اذْهَبْ بِنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْنَسْأَلْهُ فِيمَنْ هَذَا الْأَمْرُ إِنْ كَانَ فِينَا عَلِمْنَا ذَلِكَ وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِنَا عَلِمْنَاهُ فَأَوْصَى بِنَا فَقَالَ عَلِيٌّ إِنَّا وَاللَّهِ لَئِنْ سَأَلْنَاهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنَعَنَاهَا لَا يُعْطِينَاهَا النَّاسُ بَعْدَهُ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أَسْأَلُهَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah menceritakan kepadaku Ishaaq : telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Syu’aib bin Abi Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ayahku, dari Al-Azhariy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdullah bin Ka’b bin Maalik Al-Anshaariy – dan Ka’b bin Maalik adalah salah satu dari tiga orang yang diberikan ampunan (oleh Allah karena tidak ikut serta dalam perang Tabuk) : Bahwasannya Abdullah bin ‘Abbaas telah menceritakan kepadanya : ‘Aliy bin Abi Thaalib keluar dari menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat beliau sakit yang menyebabkan kematian beliau, orang-orang bertanya : “Wahai Abu Hasan, bagaimana keadaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam?” Ia menjawab; “Alhamdulillah, beliau sudah sembuh”. Ibnu Abbas berkata : “’Abbaas bin Abdul Muththalib memegang tangannya dan berkata : ‘Demi Allah, tidakkah kamu lihat bahwa beliau akan wafat tiga hari lagi, dan engkau akan diperintahkan dengannya ? Sesungguhnya aku mengetahui wajah bani ‘Abdul-Muththallib ketika menghadapi kematiannya. Mari kita menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu kita tanyakan kepada siapa perkara (kepemimpinan) ini akan diserahkan? Jika kepada (orang) kita, maka kita mengetahuinya dan jika pada selain kita maka kita akan berbicara dengannya, sehingga ia bisa mewasiatkannya pada kita.” Lalu ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata; “Demi Allah, bila kita memintanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau menolak, maka selamanya orang-orang tidak akan memberikannya kepada kita. Karena itu, demi Allah, aku tidak akan pernah menanyakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4447].
Hadits di atas ada beberapa pelajaran di antaranya :
1.      Tajamnya firasat Al-‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu tentang telah dekatnya kematian seseorang melalui tanda-tanda dhahir yang ada. Ia memperkirakan – dengan tanda-tanda tersebut – bahwa beliau akan wafat tiga hari lagi. Namun ternyata, beliau wafat pada hari itu juga, yaitu hari Senin, sebagaimana riwayat yang disebutkan Ibnu Hajar:
وذكر بن إسحاق عن الزهري أن ذلك كان يوم قبض النبي صلى الله عليه وسلم
“Disebutkan oleh Ibnu Ishaaq, dari Al-Azhariy bahwasannya perkataan Al-‘Abbaas itu terucap pada hari dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat” [Fathul-Baariy].
2.      Tidak ada wasiat sedikitpun kepada ‘Aliy (dan juga keada yang lainnya) tentang kepemimpinan/kekhilafahan. Jika memang ia telah diwasiati oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tampuk kepemimpinan menggantikan beliau, tentu saja ia akan menjelaskan kepada Al-‘Abbaas bahwa ia memang telah diberikan wasiat tersebut dan kepemimpinan sepeninggal Nabi merupakan haknya (dan hak anak turunnya). Namun kenyataannya, ia menolak ajakan menanyakan masalah kepemimpinan tersebut dalam keadaan tidak tahu kepada siapa kepemimpinan itu akan diberikan. Al-Baihaqiy berkata tentang hadits tersebut:
وفي هذا وفيما قبله دلالة على أن النبي صلى الله عليه وسلم لم يستخلف أحدا بالنص عليه
“Dalam hadits ini dan yang sebelumnya terdapat petunjuk bahwasannya Nabi shallallaau ‘alaihi wa sallam tidak menunjuk/mengangkat seorang pun (sebagai pengganti beliau dalam masalah kepemimpinan) dengan nash terhadapnya”.
Apakah mungkin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu sedang menerapkan siasat taqiyyah padahal saat itu merupakan saat yang sangat urgen untuk menjelaskan permasalahan yang sebenarnya ? (jika keadaannya memang seperti anggapan kaum Syi’ah). Menunda penjelasan pada waktu yang dibutuhkan adalah dilarang, sebagaimana ma’ruf dalam kaidah. Apalagi jika kita melihat masalah imamah ini merupakan salah satu ushul (pokok) agama Syi’ah yang mereka ber-wala’ dan ber-bara’ atas masalah ini.

Hanya satu hal yang tersisa, yaitu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memang tidak berwasiat apapun kepada ‘Aliy (dan juga yang lainnya) tentang masalah kepemimpinan.

“Mengapa Abu Bakar ra menunjuk Umar bin Khattab ra sebagai penggantinya? bukankah itu berarti Abu Bakar ra tdk mengikuti sunnah Rasul SAWW? mengapa pula Umar ra menunjuk enam orang untuk musyawarah menentukan siapa pengganti dirinya?”

Mari kita perhatikan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu saat diminta menunjuk khalifah pengganti pasca tragedi ditusuknya beliau oleh Abu Lu’lu’ah Al-Majusiy:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ حَضَرْتُ أَبِي حِينَ أُصِيبَ فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ وَقَالُوا جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَالَ رَاغِبٌ وَرَاهِبٌ قَالُوا اسْتَخْلِفْ فَقَالَ أَتَحَمَّلُ أَمْرَكُمْ حَيًّا وَمَيِّتًا لَوَدِدْتُ أَنَّ حَظِّي مِنْهَا الْكَفَافُ لَا عَلَيَّ وَلَا لِي فَإِنْ أَسْتَخْلِفْ فَقَدْ اسْتَخْلَفَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي يَعْنِي أَبَا بَكْرٍ وَإِنْ أَتْرُكْكُمْ فَقَدْ تَرَكَكُمْ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَعَرَفْتُ أَنَّهُ حِينَ ذَكَرَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرُ مُسْتَخْلِفٍ
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Alaa’ : Telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Hisyaam bin ‘Urwah, dari ayahya, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Aku ikut hadir ketika ayahku kena musibah (ditikam oleh seseorang). Para sahabat beliau yang hadir ketika itu turut menghiburnya. Mereka berkata : ‘Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan’. Umar menjawab : ‘Aku penuh harap dan juga merasa cemas’. Mereka berkata : ‘Tunjukkanlah pengganti anda (sebagai Khalifah)!” Umar menjawab : ‘Apakah aku juga harus memikul urusan pemerintahanmu waktu hidup dan matiku? Aku ingin tugasku sudah selesai, tidak kurang dan tidak lebih. Jika aku menunjuk penggantiku, maka itu pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik daripadaku, yaitu Abu Bakr Ash-Shiddiq. Dan jika pengangkatan itu aku serahkan kepada kalian, maka itu pun pernah dilakukan oleh orang yang lebih baik dari aku, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Abdullah berkata, “Dari perkataannya itu, tahulah aku bahwa dia tidak akan menunjuk penggantinya untuk menjadi Khalifah” [Diriwayatkan Muslim no. 1823. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhaariy no. 7218, Ahmad 1/43, ‘Abd bin Humaid no. 32, Abu Ya’laa no. 206, Ibnu Hibbaan no. 4478, dan yang lainnya].
Dan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu telah menegaskan apa yang dikatakan oleh ‘Umar radliyallaahu ‘anhu:
حدثنا إسماعيل بن أبي حارث، ثنا شبابة بن سوَّار، ثنا شُعيب ابن ميمون، عن حصين بن عبد الرحمن، عن الشعبي عن شقيق، قال : قيل لعلي رضي الله عنه : ألا تَستخلف ؟ قال : ما استخلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فَستخلف، وإن يردِ الله تبارك وتعالى بالناس خيرًَا فَسيجمَعهم على خيرهم، كما جمعهم بعد نبيِّهم على خيرهم.
Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Abi Haarits : Telah menceritakan kepada kami Syabaabah bin Sawwaar : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Maimuun, dari Hushain bin ‘Abdirrahmaan, dari Asy-Sya’biy, dari Syaqiiq, ia berkata : Dikatakan kepada ‘Aliy : “Tidakkah engkau mengangkat pengganti (khalifah) ?”. Ia menjawab : “Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat pengganti hingga aku harus mengangkat pengganti. Seandainya Allah tabaaraka wa ta’ala menginginkan kebaikan kepada manusia, maka Ia akan menghimpun mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka sebagaimana Ia telah menghimpun mereka sepeninggal Nabi mereka di atas orang yang paling baik di antara mereka” [Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar 3/164 no. 2486].[1]
Perhatikan pula riwayat berikut yang bercerita tentang proses pembaiatan ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ حُصَيْنٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ مَيْمُونٍ قَالَ رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَبْلَ أَنْ يُصَابَ بِأَيَّامٍ بِالْمَدِينَةِ وَقَفَ عَلَى حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ وَعُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ قَالَ : – وَجَاءَتْ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ حَفْصَةُ وَالنِّسَاءُ تَسِيرُ مَعَهَا فَلَمَّا رَأَيْنَاهَا قُمْنَا فَوَلَجَتْ عَلَيْهِ فَبَكَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً وَاسْتَأْذَنَ الرِّجَالُ فَوَلَجَتْ دَاخِلًا لَهُمْ فَسَمِعْنَا بُكَاءَهَا مِنْ الدَّاخِلِ فَقَالُوا أَوْصِ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ اسْتَخْلِفْ قَالَ مَا أَجِدُ أَحَدًا أَحَقَّ بِهَذَا الْأَمْرِ مِنْ هَؤُلَاءِ النَّفَرِ أَوْ الرَّهْطِ الَّذِينَ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَنْهُمْ رَاضٍ فَسَمَّى عَلِيًّا وَعُثْمَانَ وَالزُّبَيْرَ وَطَلْحَةَ وَسَعْدًا وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ وَقَالَ يَشْهَدُكُمْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ كَهَيْئَةِ التَّعْزِيَةِ لَهُ فَإِنْ أَصَابَتْ الْإِمْرَةُ سَعْدًا فَهُوَ ذَاكَ وَإِلَّا فَلْيَسْتَعِنْ بِهِ أَيُّكُمْ مَا أُمِّرَ فَإِنِّي لَمْ أَعْزِلْهُ عَنْ عَجْزٍ وَلَا خِيَانَةٍ وَقَالَ أُوصِي الْخَلِيفَةَ مِنْ بَعْدِي بِالْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ أَنْ يَعْرِفَ لَهُمْ حَقَّهُمْ وَيَحْفَظَ لَهُمْ حُرْمَتَهُمْ وَأُوصِيهِ بِالْأَنْصَارِ خَيْرًا { الَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ } أَنْ يُقْبَلَ مِنْ مُحْسِنِهِمْ وَأَنْ يُعْفَى عَنْ مُسِيئِهِمْ وَأُوصِيهِ بِأَهْلِ الْأَمْصَارِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ رِدْءُ الْإِسْلَامِ وَجُبَاةُ الْمَالِ وَغَيْظُ الْعَدُوِّ وَأَنْ لَا يُؤْخَذَ مِنْهُمْ إِلَّا فَضْلُهُمْ عَنْ رِضَاهُمْ وَأُوصِيهِ بِالْأَعْرَابِ خَيْرًا فَإِنَّهُمْ أَصْلُ الْعَرَبِ وَمَادَّةُ الْإِسْلَامِ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْ حَوَاشِي أَمْوَالِهِمْ وَيُرَدَّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ وَأُوصِيهِ بِذِمَّةِ اللَّهِ وَذِمَّةِ رَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُوفَى لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ وَأَنْ يُقَاتَلَ مِنْ وَرَائِهِمْ وَلَا يُكَلَّفُوا إِلَّا طَاقَتَهُمْ فَلَمَّا قُبِضَ خَرَجْنَا بِهِ فَانْطَلَقْنَا نَمْشِي فَسَلَّمَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ يَسْتَأْذِنُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَتْ أَدْخِلُوهُ فَأُدْخِلَ فَوُضِعَ هُنَالِكَ مَعَ صَاحِبَيْهِ فَلَمَّا فُرِغَ مِنْ دَفْنِهِ اجْتَمَعَ هَؤُلَاءِ الرَّهْطُ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ اجْعَلُوا أَمْرَكُمْ إِلَى ثَلَاثَةٍ مِنْكُمْ فَقَالَ الزُّبَيْرُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَلِيٍّ فَقَالَ طَلْحَةُ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عُثْمَانَ وَقَالَ سَعْدٌ قَدْ جَعَلْتُ أَمْرِي إِلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَيُّكُمَا تَبَرَّأَ مِنْ هَذَا الْأَمْرِ فَنَجْعَلُهُ إِلَيْهِ وَاللَّهُ عَلَيْهِ وَالْإِسْلَامُ لَيَنْظُرَنَّ أَفْضَلَهُمْ فِي نَفْسِهِ فَأُسْكِتَ الشَّيْخَانِ فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ أَفَتَجْعَلُونَهُ إِلَيَّ وَاللَّهُ عَلَيَّ أَنْ لَا آلُ عَنْ أَفْضَلِكُمْ قَالَا نَعَمْ فَأَخَذَ بِيَدِ أَحَدِهِمَا فَقَالَ لَكَ قَرَابَةٌ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْقَدَمُ فِي الْإِسْلَامِ مَا قَدْ عَلِمْتَ فَاللَّهُ عَلَيْكَ لَئِنْ أَمَّرْتُكَ لَتَعْدِلَنَّ وَلَئِنْ أَمَّرْتُ عُثْمَانَ لَتَسْمَعَنَّ وَلَتُطِيعَنَّ ثُمَّ خَلَا بِالْآخَرِ فَقَالَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ فَلَمَّا أَخَذَ الْمِيثَاقَ قَالَ ارْفَعْ يَدَكَ يَا عُثْمَانُ فَبَايَعَهُ فَبَايَعَ لَهُ عَلِيٌّ وَوَلَجَ أَهْلُ الدَّارِ فَبَايَعُوهُ
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Hushain, dari ‘Amr bin Maimuun, ia berkata : “……..Kemudian Hafshah, Ummul-Mukminin datang dan beberapa wanita ikut bersamanya. Tatkala kami melihatnya, kami segera berdiri. Hafshah kemudian mendekat kepada ‘Umar lalu dia menangis sejenak. Kemudian beberapa orang laki-laki meminta ijin masuk, maka Hafshah masuk ke kamar karena ada orang yang mau masuk. Maka kami dapat mendengar tangisan Hafshah dari balik kamar. Orang-orang itu berkata : “Berilah wasiat, wahai Amirul-Mukminin. Tentukanlah pengganti Anda”. ‘Umar berkata : “Aku tidak menemukan orang yang paling berhak atas urusan ini daripada mereka atau segolongam mereka yang ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat beliau ridla kepada mereka”. Maka dia menyebut nama ‘Aliy, ‘Utsmaan, Az-Zubair, Thalhah, Sa’ad, dan ‘Abdurrahmaan. Selanjutnya dia berkata : “‘Abdullah bin ‘Umar akan menjadi saksi atas kalian. Namun dia tidak punya peran dalam urusan ini” – Tugas itu hanya sebagai bentuk penghibur baginya – “Jika kepemimpinan jatuh ke tangan Sa’ad, maka dia lah pemimpin urusan ini. Namun apabila bukan dia, maka mintalah bantuan dengannya. Dan siapa saja di antara kalian yang diserahi urusan ini sebagai pemimpin maka aku tidak akan memecatnya karena alasan lemah atau berkhianat”. Selanjutnya ‘Umar berkata : “Aku berwasiat kepada khalifah sesudahku agar memahami hak-hak kaum Muhajirin dan menjaga kehormatan mereka. Aku juga berwasiat kepadanya agar selalu berbuat baik kepada kaum Anshar yang telah menempati negeri (Madinah) ini dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) agar menerima orang baik, dan memaafkan orang yang keliru dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar berbuat baik kepada seluruh penduduk kota ini karena mereka adalah para pembela Islam dan telah menyumbangkan harta (untuk Islam) dan telah bersikap keras terhadap musuh. Dan janganlah mengambil dari mereka kecuali harta lebih mereka dengan kerelaan mereka. Aku juga berwasiat agar berbuat baik kepada orang-orang Arab Badui karena mereka adalah nenek moyang bangsa Arab dan perintis Islam, dan agar diambil dari mereka bukan harta pilihan (utama) mereka (sebagai zakat) lalu dikembalikan (disalurkan) untuk orang-orang faqir dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar menunaikan perjanjian kepada ahludz-dzimmah, yaitu orang-orang yang di bawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam (asalkan membayar pajak) dan mereka (ahludz-dzimmah) yang berniat memerangi harus diperangi. Mereka juga tidak boleh dibebani selain sebatas kemampuan mereka”. Ketika ‘Umar sudah menghembuskan nafas (wafat), kami keluar membawanya lalu kami berangkat dengan berjalan. ‘Abdullah bin ‘Umar mengucapkan salam (kepada ‘Aisyah radliallahu ‘anha) lalu berkata; “‘Umar bin Al Khaththab meminta izin”. ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa berkata : “Masukkanlah”. Maka jasad ‘Umar dimasukkan ke dalam liang lahad dan diletakkan berdampingan dengan kedua shahabatnya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu). Setelah selesai menguburkan jenazah ‘Umar, orang-orang (yang telah ditunjuk untuk mencari pengganti khalifah) berkumpul. ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf berkata : “Jadikanlah urusan kalian ini kepada tiga orang diantara kalian. Maka Az-Zubair berkata : “Aku serahkan urusanku kepada ‘Aliy”. Sementara Thalhah berkata : “Aku serahkan urusanku kepada ‘Utsmaan”. Sedangkan Sa’ad berkata : “Aku serahkan urusanku kepada ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf”. Kemudian ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf berkata : “Siapa diantara kalian berdua yang mau melepaskan urusan ini maka kami akan serahkan kepada yang satunya lagi, Allah dan Islam akan mengawasinya Sungguh seseorang dapat melihat siapa yang terbaik diantara mereka menurut pandangannya sendiri”. Dua pembesar (‘Utsmaan dan ‘Aliy) terdiam. Lalu ‘Abdurrahmaan berkata : “Apakah kalian menyerahkan urusan ini kepadaku. Allah tentu mengawasiku dan aku tidak akan semena-mena dalam memilih siapa yang terbaik diantara kalian”. Keduanya berkata : “Baiklah”. Maka ‘Abdurrahmaan memegang tangan salah seorang dari keduanya seraya berkata : “Engkau adalah kerabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan dari kalangan pendahulu dalam Islam (senior) sebagaimana yang kamu ketahui dan Allah akan mengawasimu. Seandainya aku serahkan urusan ini kepadamu tentu kamu akan berbuat adil dan seandainya aku serahkan urusan ini kepada ‘Utsmaan tentu kamu akan mendengar dan mentaatinya”. Kemudian dia berbicara menyendiri dengan ‘Utsmaan dan berkata sebagaimana yang dikatakannya kepada ‘Aliy. Ketika dia mengambil perjanjian bai’at, ‘Abdurrahmaan berkata : “Angkatlah tanganmu wahai ‘Utsmaan”. Maka Abdurrahmaan membai’at ‘Utsmaan lalu ‘Ali ikut membai’atnya kemudian para penduduk masuk untuk membai’at ‘Utsman” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3700].
Sisi pendalilannya adalah: Seandainya ‘Aliy memang mendapat wasiat dan amanat kepemimpinan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mengapa ia tidak mengatakan hal itu kepada ‘Abdurrahmaan saat berbicara berdua dengannya ? Aneh, jika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu yang gagah berani dan selalu menyerukan kebenaran itu tidak menyampaikan salah pokok agama (imaamah) – menurut anggapan Syi’ah – di hadapan ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf dan yang lainnya ! Malah, ia menjadi orang kedua yang membaiat ‘Utsmaan bin ‘Affaan setelah ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf radliyallaahu ‘anhum.
Perhatikan pula riwayat berikut:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَشْرَجُ بْنُ نُبَاتَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ قَالَ حَدَّثَنِي سَفِينَةُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخِلَافَةُ فِي أُمَّتِي ثَلَاثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ لِي سَفِينَةُ أَمْسِكْ خِلَافَةَ أَبِي بَكْرٍ ثُمَّ قَالَ وَخِلَافَةَ عُمَرَ وَخِلَافَةَ عُثْمَانَ ثُمَّ قَالَ لِي أَمْسِكْ خِلَافَةَ عَلِيٍّ قَالَ فَوَجَدْنَاهَا ثَلَاثِينَ سَنَةً
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Manii’ : Telah menceritakan kepada kami Suraij bin An-Nu’maan, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hasyraj bin Nubaatah, dari Sa’iid bin Jumhaan, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Safiinah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Kekhilafahan pada umatku selama tigapuluh tahun kemudian setelah itu kerajaan.” Setelah itu Safinah berkata kepadaku : “Berpeganglah pada khilafah Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman”; kemudian Safinah berkata padaku : “Peganglah khilafah ‘Aliy”. Berkata Sa’iid : “Ternyata kami menemukan (lamanya waktu khilafah) selama tigapuluh tahun…..” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2226].[2]
Sisi pendalilannya adalah: Bahwasannya Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui bahwa masa kekhilafahan umatnya selama 30 tahun. Safiinah dan Sa’iid bin Jumhaan menjadi saksi bahwa masa tersebut adalah masa kekhilafahan Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum. Seandainya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat tentang kekhilafahan kepada ‘Aliy bin Abi Thaalib (dan anak turunnya), niscaya beliau tidak akan menyebutkan masa 30 tahun. Sebab, kenyataan yang ada masa kekhilafahan ‘Aliy bin Abi Thaalib dan Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa – dua orang shahabat yang dianggap imam oleh kaum Syi’ah – tidaklah selama itu. Justru itu mencocoki masa kekhilafahan Abu Bakr hingga ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa.
Oleh karena itu, anggapan orang-orang Syi’ah yang mengartikan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat haji wada’:
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ
“Barangsiapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, maka ‘Aliy adalah maulanya juga”
sebagai isyarat atau penunjukan kepemimpinan sepeninggal beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam keliru. Silakan saja mereka (Syi’ah) berandai-andai akan hal itu, karena kenyataan yang ada bertentangan dengan perkataan ‘Aliy sendiri dan juga para shahabat yang lain – sebagaimana telah disebutkan di atas.
Berikut beberapa contoh penerapan kata maulaa dalam Al-Qur’an:
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula” [QS. At-Tahriim : 4].
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ مَوْلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَأَنَّ الْكَافِرِينَ لا مَوْلَى لَهُمْ
“Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah adalah pelindung orang-orang yang beriman dan karena sesungguhnya orang-orang kafir itu tiada mempunyai pelindung” [QS. Muhammad : 11].
Dalam kamus pun telah ma’ruf bahwasannya beda antara al-walaayah (الْوَلَايَةُ) dan al-wilaayah (الْوِلَايَةُ). Al-walaayah adalah kebalikan dari al-‘adaawah (permusuhan); yang darinya terambil kata maulaa (مَوْلَى) dan waliy (وَلِيٌّ). Keliru jika mengartikan kata maulaa dan waliy sebagai pemimpin/kepemimpinan (al-wilaayah).
Ibnul-Atsiir berkata saat menjelaskan makna kata maulaa:
وهو اسْمٌ يقَع على جَماعةٍ كَثيِرَة، فهو الرَّبُّ، والمَالكُ، والسَّيِّد والمُنْعِم، والمُعْتِقُ، والنَّاصر، والمُحِبّ، والتَّابِع، والجارُ، وابنُ العَمّ، والحَلِيفُ، والعَقيد، والصِّهْر، والعبْد، والمُعْتَقُ، والمُنْعَم عَلَيه وأكْثرها قد جاءت في الحديث.
“Ia adalah nama bagi sesuatu yang banyak, yaitu raja, tuan, pemberi anugerah, orang yang membebaskan, penolong, orang yang mencintai, pengikut, tetangga, anak paman, sekutu, orang yang mengadakan perjanjian, kerabat, hamba, orang yang dibebaskan, orang yang diberi anugerah. Dan kebanyakannya terdapat dalam hadits” [An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits, materi kata ولا].
Adapun hadits lemah dan palsu yang sering dibawakan kaum Syi’ah untuk mengukuhkan klaim ‘wasiat’ di antaranya sebagai berikut (saya berikan keterangan haditsnya secara singkat):
عن سلمان قال : قلت : يا رسول الله لكل نبي وصي، فمن وصيك ؟ – إلى أن قال : فَإِنَّ وَصِيِّي وَمَوْضِعَ سِرِّي، وَخَيْرَ مَنْ أَتْرُكُ بَعْدِي، وَيُنْجِزُ عِدَتِي، وَيَقْضِي دِينِي : عَلِيُّ بْنِ أَبِي طَالِبٍِ
Dari Salmaan ia berkata : Aku berkata : “Wahai Rasulullah, setiap nabi mempunyai washiy (orang yang diserahi wasiat), lalu siapakah washi-mu ?”. – hingga beliau bersabda : “Sesungguhnya washiku, tempat menyimpan rahasia, dan sebaik-baik orang yang aku tinggalkan setelahku, menjalankan janjiku dan memenuhi agamaku adalah : ‘Aliy bin Abi Thaalib”.
Riwayat ini sangat lemah. Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 6/221, dalam sanadnya terdapat Naashih bin ‘Abdillah. Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak tsiqah”. Dalam riwayat lain ia berkata : “Tidak ada apa-apanya (laisa bi-syai’)”. ‘Amr bin ‘Aliy berkata : “Matruukul-hadiits”. Al-Bukhaariy berkata : “Munkarul-hadiits”. Abu Haatim berkata : “Dla’iif, munkarul-hadiits”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak tsiqah”. Al-Haakim Abu Ahmad : “Dzaahibul-hadiits” [selengkapnya lihat Tahdziibut-Tahdziib 10/401-402 no. 721].
عن أنس بن مالك، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : وَصِيِّي وَوَارُثِي، يَقْضِي دَيْنِي وَيُنْجِزُ مَوْعِدِي : عَلِيُّ بْنِ أَبِي طَالِبٍِ
Dari Anas bin Maalik, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Washiku dan pewarisku, yang akan melunasi hutangku dan menepati janjiku : ‘Aliy bin Abi Thaalib”.
Riwayat ini sangat lemah, bahkan palsu. Ibnul-Jauziy membawakannya dalam Al-Maudluu’aat 1/376. Dalam sanadnya terdapat Mathar bin Maimuun. Al-Bukhaariy, An-Nasaa’iy, dan Abu Haatim berkata : “Munkarul-hadiits”. Al-Azdiy berkata : “Matruuk”. Al-Haakim dan Abu Nu’aim berkata : “Ia meriwayatkan dari Anas hadits-hadits palsu” [selengkapnya lihat Tahdziibut-Tahdziib, 10/170 no. 320].
عن بريدة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لِكُلِّ نَبِيٍِّ وَصِيٌُّ وَوَارِثٌُ، وَإِنَّ عَلِيًَّا وَصِيِّي وَوَارِثِي
Dari Buraidah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap Nabi mempunyai washi dan pewaris. Dan sesungguhnya ‘Aliy adalah washiku dan pewarisku”.
Riwayat ini palsu (maudluu’). Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asaakir 42/392. Dalam sanadnya terdapat ‘Aliy bin Mujaahid Ar-Raaziy. Ibnu Ma’iin berkata : “Ia memalsukan hadits”. Yahyaa Adl-Dlariis dan Ahmad bin Ja’far berkata tentangnya : “Pendusta (kadzdzaab)” [lihat selengkapnya dalam Al-Abaathil wal-Manaakir, 2/188-190 no. 544].

Wallaahu a’lam bish-shawwaab.

========================

[1] Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 1158, Al-Haakim 3/79, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 8/149.

Sanad riwayat ini dla’iif, karena berporos pada Syu’aib bin Maimuun. Ia seorang dla’iif yang tidak dipakai berhujjah jika bersendirian. Adapun kritikan Al-Bukhaariy dengan perkataannya : ‘fiihi nadhar’, maka ini bukan selalu beralamat kritik/jarh keras sebagaimana sebagian orang bertaqlid pada perkataan Adz-Dzahabiy. [Silakan lihat uraian perincian makna jarh ini pada kitab Al-Khulaashah fii ‘Ilmil-Jarh wat-Ta’diil oleh ‘Aliy bin Naayid Asy-Syuhuud hal. 323-325, Al-Mughniy fii Alfaadhil-Jarh wat-Ta’diil oleh Muhammad Dzaakir ‘Abbaas hal. 66, Syifaaul-‘Aliil oleh Abul-Hasan Mushthafa hal. 312-313, dan yang lainnya]. Ibnu Hajar berkata tentangnya : “Dla’iif, ‘aabid (seorang yang lemah, namun ahli ibadah)” [At-Taqriib bersama Tahriir At-Taqriib, 2/118 no. 2807].
Perkataan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menunjuk pengganti atau berwasiat dalam masalah kepemimpinan adalah hasan atau shahih karena dikuatkan oleh riwayat ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhumaa sebelumnya dan juga riwayat berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ رَجُلٍ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ يَوْمَ الْجَمَلِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْهَدْ إِلَيْنَا عَهْدًا نَأْخُذُ بِهِ فِي الْإِمَارَةِ وَلَكِنَّهُ شَيْءٌ رَأَيْنَاهُ مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِنَا ثُمَّ اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ ثُمَّ اسْتُخْلِفَ عُمَرُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى عُمَرَ فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ حَتَّى ضَرَبَ الدِّينُ بِجِرَانِهِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq : Telah memberitakan kepada kami Sufyaan (Ats-Tsauriy), dari Al-Aswad, dari seorang laki-laki, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ia pernah berkata pada saat perang Jamal : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berwasiat kepada kami untuk mengambil masalah kepemimpinan akan tetapi itu adalah sesuatu yang kita pandang menurut pendapat kita, kemudian diangkatlah Abu Bakar menjadi Khalifah semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada Abu Bakr maka dia menjalankan (tampuk pimpinan) dan istiqamah di dalam menjalankannya, kemudian diangkatlah ‘Umar menjadi Khalifah semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada ‘Umar maka dia menjalankan (tampuk pimpinan) dan istiqamah di dalam menjalankannya sampai agama ini berdiri kokoh di bangunannya” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/114 – juga dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 477, Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal 4/87-88].
Sanad riwayat ini adalah dla’iif karena mubham-nya perawi yang meriwayatkan dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu.
Dalam riwayat lain, perawi mubham tersebut adalah ‘Amr bin Sufyaan sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 7/223, ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 1334, Ad-Daaruquthniy dalam Al-‘Ilal 4/85-86; dari dua jalan – yaitu ‘Ishaam bin Nu’maan dan Yahyaa bin Yamaan – , dari Ats-Tsauriy, dari Al-Aswad bin Qais, dari ‘Amr bin Sufyaan, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
‘Ishaam bin Nu’maan tidak ditemukan biografinya, dan Yahyaa bin Yamaan adalah perawi jujur namun banyak salahnya.
Al-Aswad bin Qais mempunyai mutaba’ah dari Musaawir sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak – bersama At-Tatabbu’ – 3/119, dan ia seorang yang majhuul.
Dua orang tersebut di atas (‘Ishaam bin Nu’maan dan Yahyaa bin Yamaan) telah diselisihi Abu ‘Aashim Adl-Dlahhak bin Makhlad yang meriwayatkan dari Ats-Tsauriy, dari ‘Amr bin Sa’iid, dari ayahnya, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 1218, Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 470, dan Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ 1/178 dari jalan Adl-Dlahhak bin Makhlad, dari Sufyaan Ats-Tsauriy, dari Al-Aswad bin Qais, dari Sa’iid bin ‘Amr, dari ayahnya, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Apabila Sa’iid bin ‘Amr ini adalah Ibnu ‘Aash Al-Umawiy, maka riwayat ini shahih. Namun bila ia adalah Ibnu Sufyaan Ats-Tsaqafiy, maka riwayat tersebut adalah dla’iif, karena ia majhuul. Dari keterangan Abu Zur’ah, nampak bahwa ia adalah Ibnu Sufyaan Ats-Tsaqafiy [lihat Al-‘Ilal oleh Ibnu Abi Haatim 6/323 no. 2638]. Adapun bapaknya, maka ia tsiqah – di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibbaan (Ats-Tsiqaat 5/172), Al-‘Ijliy (Ats-Tsiqaat 2/177), dan Al-Haakim pada riwayatnya dari Al-‘Abbaas dalam Al-Mustadrak. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya memakainya secara ta’liq.
Abu ‘Aashim bin Makhlad mempunyai mutaba’ah dari Abu ‘Aashim An-Nabiil dari Sufyaan Ats-Tsauriy sebagaimana diriwayatkan oleh Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no. 471.
Dikuatkan pula oleh riwayat berikut:
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَبُعٍ قَالَ سَمِعْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ لَتُخْضَبَنَّ هَذِهِ مِنْ هَذَا فَمَا يَنْتَظِرُ بِي الْأَشْقَى قَالُوا يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَأَخْبِرْنَا بِهِ نُبِيرُ عِتْرَتَهُ قَالَ إِذًا تَالَلَّهِ تَقْتُلُونَ بِي غَيْرَ قَاتِلِي قَالُوا فَاسْتَخْلِفْ عَلَيْنَا قَالَ لَا وَلَكِنْ أَتْرُكُكُمْ إِلَى مَا تَرَكَكُمْ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا فَمَا تَقُولُ لِرَبِّكَ إِذَا أَتَيْتَهُ وَقَالَ وَكِيعٌ مَرَّةً إِذَا لَقِيتَهُ قَالَ أَقُولُ اللَّهُمَّ تَرَكْتَنِي فِيهِمْ مَا بَدَا لَكَ ثُمَّ قَبَضْتَنِي إِلَيْكَ وَأَنْتَ فِيهِمْ فَإِنْ شِئْتَ أَصْلَحْتَهُمْ وَإِنْ شِئْتَ أَفْسَدْتَهُمْ
Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Saalim bin Abi Ja’d, dari ‘Abdullah bin Sabu’, ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata : “(Jenggotku) ini akan diwarnai (darah) dari sini, dan tidak menungguku selain kesengsaraan.” Para shahabat bertanya : “Wahai Amirul-Mukminiin beritahukan kepada kami orang itu, agar kami bunuh keluarganya.” Ali berkata; “Kalau begitu, demi Allah, kalian akan membunuh selain pembunuhku.” Mereka berkata : “Angkatlah khalifah pengganti untuk memimpin kami!” ‘Aliy menjawab : “Tidak, tapi aku tinggalkan kepada kalian apa yang telah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tinggalkan untuk kalian.” Mereka bertanya; “Apa yang akan kamu katakan kepada Rabbmu jika kamu menghadapNya?” dalam kesempatan lain Wakii’ berkata; “Jika kamu bertemu dengan-Nya?” ‘Aliy berkata : “Aku akan berkata : ‘Ya Allah, Engkau tinggalkan aku bersama mereka sebagaimana tampak bagi-Mu, kemudian Engkau cabut nyawaku dan Engkau bersama mereka. Jika Engkau berkehendak, perbaikilah mereka dan jika Engkau berkehendak maka hancurkanlah mereka’.” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/130].
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah 14/596 & 15/118 dan Abu Ya’laa no. 341 dari jalan Wakii’ yang selanjutnya sama dengan sanad di atas.
Sanad riwayat ini dla’iif (lemah) karena ‘Abdullah bin Sabu’, seorang yang majhuul [lihat Tahdziibul-Kamaal 15/5-6].
Al-A’masy mempunyai jalan periwayatan lain sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 2572 : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’iid Al-Jauhariy dan Muhammad bin Ahmad bin Al-Junaid, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Khawaar (yang tepat : Abul-Jawaab, sebagaimana dikatakan oleh Habibur-Rahmaan Al-A’dhamiy – Abul-Jauzaa’) : Telah menceritakan kepada kami ‘Ammaar bin Raziiq, dari Al-A’masy, dari Habiib bin Abi Tsaabit, dari Tsa’labah bin Yaziid Al-Himmaaniy, dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Sanad riwayat ini lemah dikarenakan Tsa’labah bin Yaziid Al-Himmaaniy [lihat Tadziibul-Kamaal 4/399, Tahdziibut-Tahdziib 2/26 no. 42, dan Tahriir At-Taqriib 1/200 no. 847]. Namun riwayat ini bisa dipakai sebagai penguat riwayat sebelumnya sehingga keduanya berderajat hasan lighairihi.
Kesimpulan dalam hal ini bahwa perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat atau mewasiati seseorang sebagai pengganti beliau adalah sah tanpa keraguan.

[2] Hadits ini shahih.

Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy no. 1107, ‘Aliy bin Ja’d no. 3446, Ahmad 5/220 & 221 dan dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 789 & 790 & 1027, Abu Dawud no. 4646-4647, Ibnu Abi ‘Aashim dalam As-Sunnah no. 1181, An-Nasaa’iy dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 52, Ath-Thahaawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar no. 3349, Ibnu Hibbaan no. 6657 & 6943, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir no. 13 & 136 & 6442 & 6443 & 6444, Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil 3/1237, Al-Haakim 3/71 & 145, Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 6/341-342, Al-Baghawiy no. 3865, serta Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 10/378.

 

 

Mulahadzah

Syubhat-syubhat Jacky Noordien bisa jadi karena dia tertipu dengan buku Saqifah, Awal Perselisihan Umat karya seorang syiah dari Lampung yang bernama O. Hashem, cetakan ketiga tahun 1415 H -1994 M, terbitan penerbit Al Muntazhar, Jakarta Barat. Buku ini sebenarnya hanya menukil tuduhan dan kecaman para pendahulunya dari kalangan orang syiah dan musuh-musuh Islam.

Kaum muslimin harap berhati-hati terhadap buku ini karena berisi kebohongan dan kelicikan dalam mengolah kata sehingga dapat mengelabuhi kaum muslimin yang tidak memiliki dasar pengetahuan islam yang baik.

Jawaban atas buku tersebut terdaat dalam kitab Difa’un ‘An Abi Hurairah karya Abdul Mun’im Shalih Al ‘Ali Al ‘Izzi, tanpa tahun, Dar Al Syuruq, Bairut,  As Sunnah Qabla Al Tadwin karya Dr. Muhammad ‘Ajaaj Al Khathib, cetakan kelima tahun 1401 H, Dar El Fikar, Bairut, dan kitab-kitab hadits serta beberapa referensi lainnya.

Santri Gontor Jadi Fans Syi’ah (Tentang Tuduhan Keji Terhadap Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu)

Dulu, jika masih mengingat dan mensyukurinya, kita sebagai santri KMI Pondok Modern Gontor telah dibekali dasar ilmu yang cukup guna mengetahui “madzahib haddamah.” Semenjak duduk di bangku 3 Intensif (kelas 4) KMI, hingga pembekalan menjelang lulus KMI, kita diajarkan aliran-aliran yang menyimpang dalam agama Islam, di antaranya adalah sekte Syi’ah (Rafidhah). Tapi entah kenapa, setelah keluar menjadi alumni Gontor, dasar-dasar pengetahuan tersebut tidak diteruskan menjadi ilmu yang bermanfaat, justru membenarkan yang salah, dan sebaliknya. Tulisan ini sebagai respon atas seorang rekan marhalah KMI yang menyebarkan link tulisan tentang tuduhan sahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu meninggal tidak dalam keadaan Islam. Sekaligus,ilman lakum aladziina lam ta’rifuu haqiqatas Syi’ah. Nas`alullaha ta’ala taufiq wal hidayah.  

Bagi yang belum pernah tinggal di Timur Tengah, dipastikan banyak disinformasi tentang kebenaran agama Syi’ah ini. Terutama terkait dengan Iran –sebagai satu-satunya negara yang menjadikan Syi’ah sebagai agama resmi– dan Hizbullah di Libanon yang dipresentasikan mewakili umat Islam yang memperjuangkan rakyat Palestina. Berita yang disebar ke seluruh dunia (baca: propaganda) dalam isu Timur Tengah selalu mengedepankan Iran sebagai negara Islam yang berani melawan hegemoni Barat dengan presidennya yang konon sederhana, dan kesan simpatik lain kepada negeri yang sukses melakukan revolusi pada tahun 1979. Saya tidak ingin berpanjang lebar tentang Iran dan Hizbullah ini, meyakinkan dengan mata kepala lebih kuat dari pada hanya mendengar berita dari media massa. Setidaknya, Anda bisa mengakses informasi yang berimbang di dunia internet tentang kebenaran revolusi di Iran itu bukanlah presentatif dari Islam, tetapi Revolusi Syi’ah. Dan Hizbullah adalah partai sektarian Syi’ah yang berjuang demi agamanya, berkonspirasi dengan Israel, membantai warga muslim ahlu sunnah di Libanon. Anda bisa bandingkan dengan informasi seperti di sini http://www.youtube.com/watch?v=MU4fQklCm1g&feature=mfu_in_order&list=UL , http://www.youtube.com/watch?v=SgsaSCkcqF4&feature=related , http://www.youtube.com/watch?v=zXGwYS2DeGM , dll masih banyak di dunia maya tanpa batas ini.

Syahdan, ada seorang rekan alumni Gontor se-marhalah tiba-tiba membuat kotor laman grup Laviola di Facebook dengan menyebar link yang berisi tulisan berjudul “Hadis Muawiyah Mati Tidak Dalam Agama Islam?” Judul provokatif ini bukan barang asing bagi saya, dan orang-orang yang biasa membaca tema-tema pemikiran Islam. Tulisan tersebut hanya ingin mengatakan bahwa Mua’wiyah adalah kafir, bukan sahabat yang ‘udul, memusuhi bahkan pembantai Ahlu Bait, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya, wal ‘iyadzu billah. Tuduhan-tuduhan kotor nan keji seperti ini juga sudah sangat biasa dilakukan bagi kaum Syi’i. Coba Anda simak ini http://www.youtube.com/watch?v=-iV3sd1CUtU&feature=related

Untuk mendukung pendapat mereka yang bathil tersebut, si penulis di sebuah blog membawakan sebuah riwayat hadits yang menceritakan kematian sahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu dalam kekafiran. Bak seorang ahli hadits, penulis menjelaskan validasi sanad hadits tersebut, yang hingga akhirnya pasti harus disimpulkan haditsnya shahih (menurut versinya). Sayang, dia tidak membahas kritik matan haditsnya.

Untuk membantah isi tulisan tentang riwayat hadits bahwa Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu meninggal dalam keadaan kafir, tidak terlalu sulit. Walhamdulillah bi ni’amihi Islam wa iman, telah banyak ulama Ahlu Sunnah membahas kemudian menyebarkannya agar umat ini tidak tersesat. Adapun riwayat hadits yang dijadikan inti tulisan blog tersebut adalah:

عن عبد الله بن عمرو قال كنت جالساً عند النبي صلى الله عليه وسلم فقال يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي، قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع، فطلع معاوية

Dari Abdullah bin Amru yang berkata aku duduk bersama Nabi SAW kemudian Beliau bersabda ”akan datang dari jalan besar ini seorang laki-laki yang mati pada hari kematiannya tidak berada dalam agamaKu”. Aku berkata “Ketika itu, aku telah meninggalkan ayahku yang sedang mengenakan pakaian, aku khawatir kalau ia akan datang dari jalan tersebut, kemudian datanglah Muawiyah dari jalan tersebut”.

Penulis di akhir kesimpulannya mengatakan bahwa “…dapat disimpulkan kalau sanad kedua itu diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqat sehingga sanadnya shahih. Dengan melihat kedua sanad hadis tersebut maka kedudukan hadis tersebut sudah jelas shahih. Sanad pertama berstatus dhaif tetapi dikuatkan oleh sanad kedua yang merupakan sanad yang shahih.”

Untuk membatah kesimpulan gegabah-tendesius anti sahabat di atas, mari kita periksan, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baladzuriy dalam Ansabul-Asyarf melalui dua jalan yang kesemuanya berujung pada Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa:

Jalan yang pertama; telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Shaalih: Telah menceritakan kepadaku Yahyaa bin Aadam (w. 203), dari Syariik, dari Laits, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash secara marfu’ [idem, 2/121].

Pembahasan; hadits ini lemah lagi munkar. Kelemahan sanadnya terletak pada Syariik, dan Laits; dan matannya munkar karena bertentangan dengan hadits-hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ إِسْحَقَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أُمِّ حَرَامٍ بِنْتِ مِلْحَانَ فَتُطْعِمُهُ وَكَانَتْ أُمُّ حَرَامٍ تَحْتَ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ فَدَخَلَ عَلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَأَطْعَمَتْهُ ثُمَّ جَلَسَتْ تَفْلِي رَأْسَهُ فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ قَالَتْ فَقُلْتُ مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَرْكَبُونَ ثَبَجَ هَذَا الْبَحْرِ مُلُوكًا عَلَى الْأَسِرَّةِ أَوْ مِثْلَ الْمُلُوكِ عَلَى الْأَسِرَّةِ يَشُكُّ أَيَّهُمَا قَالَ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَدَعَا لَهَا ثُمَّ وَضَعَ رَأْسَهُ فَنَامَ ثُمَّ اسْتَيْقَظَ وَهُوَ يَضْحَكُ قَالَتْ فَقُلْتُ مَا يُضْحِكُكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي عُرِضُوا عَلَيَّ غُزَاةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَا قَالَ فِي الْأُولَى قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ قَالَ أَنْتِ مِنْ الْأَوَّلِينَ فَرَكِبَتْ أُمُّ حَرَامٍ بِنْتُ مِلْحَانَ الْبَحْرَ فِي زَمَنِ مُعَاوِيَةَ فَصُرِعَتْ عَنْ دَابَّتِهَا حِينَ خَرَجَتْ مِنْ الْبَحْرِ فَهَلَكَتْ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa, ia berkata : Aku membacakan (hadits) di hadapan Maalik, dari Ishaaq bin ‘Abdillah bin Abi Thalhah, dari Anas bin Maalik : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui Ummu Haram binti Milhan – isteri ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit – yang kemudian ia (Ummu Haram) menghidangkan makanan untuk beliau. Setelah itu Ummu Haram menyisir rambut beliau, hingga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram bertanya : “Apa yang menyebabkanmu tertawa wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “Sekelompok umatku diperlihatkan Allah ta’ala kepadaku. Mereka berperang di jalan Allah mengarungi lautan dengan kapal, yaitu para raja di atas singgasana atau bagaikan para raja di atas singgasana” – perawi ragu antara keduanya – . Ummu Haram berkata : “Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka.” Kemudian beliau mendoakannya. Setelah itu beliau meletakkan kepalanya hingga tertidur. Tiba-tiba beliau terbangun sambil tertawa. Ummu Haram berkata : Lalu aku kembali bertanya : “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu tertawa ?”. Beliau menjawab : “Sekelompok umatku diperlihatkan Allah Ta’ala kepadaku, mereka berperang di jalan Allah…” – sebagaimana sabda beliau yang pertama – . Ummu Haram berkata : Lalu aku berkata : “Wahai Rasulullah, doakanlah agar aku termasuk di antara mereka !”. Beliau bersabda : “Kamu termasuk dari rombongan pertama”. Pada masa (kepemimpinan) Mu’aawiyah, Ummu Haram turut dalam pasukan Islam berlayar ke lautan (untuk berperang di jalan Allah). Ketika mendarat, dia terjatuh dari kendaraannya hingga meninggal dunia. [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1912].

حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ بْنُ يَزِيدَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ثَوْرُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ وَهُوَ نَازِلٌ فِي سَاحَةِ حِمْصَ وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ أُمُّ حَرَامٍ قَالَ عُمَيْرٌ فَحَدَّثَتْنَا أُمُّ حَرَامٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ثُمَّ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ فَقُلْتُ أَنَا فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لَا

Telah menceritakan kepadaku Ishaaq bin Yaziid Ad-Dimasyqiy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Tsaur bin Yaziid, dari Khaalid bin Ma’daan : Bahwasannya ‘Umair bin Al-Aswad Al-‘Ansiy telah menceritakan kepadanya : Bahwa dia pernah menemui ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia sedang berada di rumahnya, dan Ummu Haram ada bersamanya. ‘Umair berkata : Maka Ummu Haram bercerita kepada kami bahwa dia pernah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pasukan dari umatku yang pertama kali berperang dengan mengarungi lautan, telah diwajibkan padanya (pahala surga)”. Ummu Haram berkata : Aku katakan : “Wahai Rasulullah, apakah aku termasuk di antara mereka ?”. Beliau bersabda : “Ya, kamu termasuk dari mereka”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali bersabda : “Pasukan dari umatku yang pertama kali akan memerangi kota Qaishar (Romawi) akan diberikan ampunan (dari dosa)”. Aku katakan : “Apakah aku termasuk di antara mereka, wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Tidak [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2924].

Selain itu, Ibnu Qudaamah membawakan cacat lain dalam riwayat ini, dari riwayat Al-Khallaal : Aku pernah bertanya kepada Ahmad tentang hadits Syariik, dari Laits, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni neraka’. Lalu muncullah Mu’aawiyyah”.

Ahmad berkata : “Hadits itu hanyalah diriwayatkan oleh Ibnu Thaawuus, dari ayahnya, dari ‘Abdulah bin ‘Amru atau selainnya”, ia ragu-ragu dalam penyebutannya” [lihat : Al-Muntakhab minal-‘Ilal lil-Khallaal oleh Ibnu Qudaamah, hal. 228 no. 136, tahqiq & ta’liq : Abu Mu’aadz Thaariq bin ‘Awwadlillah; Daarur-Raayah, Cet. 1/1419].

Ta’lil dari Ahmad bin Hanbal ini mengindikasikan bahwa sanad hadits ini keliru, dan yang benar adalah sanad dari Ibnu Thaawuus, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru secara marfu’ sebagaimana dalam sanad hadits yang kedua di bawah.

Jalan yang kedua; Telah menceritakan kepadaku Ishaaq dan Bakr bin Al-Haitsam, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam : Telah memberitakan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Thaawuus, dari ayahnya, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Aash secara marfu’.

Pembahasan; Dhahir sanad hadits ini adalah shahih, namun sebenarnya ma’lul.

Masih dalam peristiwa yang sama dalam sanad yang lain, disebutkan bahwa orang yang diisyaratkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah Al-Hakam bin Abil-‘Aash.

حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ ذَهَبَ عَمْرُو بْنُ الْعَاصِ يَلْبَسُ ثِيَابَهُ لِيَلْحَقَنِي فَقَالَ وَنَحْنُ عِنْدَهُ لَيَدْخُلَنَّ عَلَيْكُمْ رَجُلٌ لَعِينٌ فَوَاللَّهِ مَا زِلْتُ وَجِلًا أَتَشَوَّفُ دَاخِلًا وَخَارِجًا حَتَّى دَخَلَ فُلَانٌ يَعْنِي الْحَكَمَ

Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim, dari Abu Umaamah bin Sahl bin Hunaif, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : Kami pernah duduk-duduk di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan ketika itu ‘Amru bin Al-‘Aash pergi berjalan dengan mengenakan baju untuk menemuiku. Beliau bersabda – sementara kami berada di sisinya – : “Sungguh akan datang kepada kalian seorang laki-laki yang dilaknat”. Maka demi Allah, semenjak beliau mengatakan itu, aku selalu melihat-lihat ke dalam dan ke luar hingga datanglah si Fulan, yaitu Al-Hakam [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/163. Melalui jalan Ahmad, diriwayatkan juga oleh Al-Bazzaar dalam Al-Musnad 6/344 no. 2352 dan dalam Kasyful-Astaar 2/247 no. 1625]. Sanad hadits ini shahih [Dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dan Al-Arna’uth].

Al-Haitsamiy saat mengomentari riwayat di atas berkata : “Diriwayatkan oleh Ahmad, dan para perawinya adalah para perawi Ash-Shahiih” [Majma’uz-Zawaaid, 1/112. Lihat juga 5/241].

Abu Umaamah bin Sahl bin Hunaif dalam penyebutan Al-Hakam bin Abil-‘Aash ini mempunyai mutaba’ah dari Syu’aib bin Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waarits bin Sufyaan: Telah menceritakan kepada kami Qaasim: Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Zuhair: Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad: Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Hakiim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib bin Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash, ia berkata : “…..(al-hadits)…..” [Al-Isti’aab, 1/360, tahqiq : ‘Aliy bin Muhammad Al-Bajawiy; Daarul-Jail. Cet. 1/1412].

Berkata Ahmad Syaakir: “Sanad (hadits) ini juga shahih” [Ta’liiq ‘alaa Musnad Ahmad, 6/85; Daarul-Hadiits, Cet. 1/1416].

Hadits ini mempunyai syaahid dari ‘Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ‘anhumaa:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ عَنِ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَى الْكَعْبَةِ وَهُوَ يَقُولُ وَرَبِّ هَذِهِ الْكَعْبَةِ لَقَدْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَمَا وُلِدَ مِنْ صُلْبِهِ

Telah menceitakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq: Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah bin Az-Zubair dalam keadaan bersandar ke Ka’bah, berkata : “Demi Dzat yang memiliki Ka’bah ini, sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melaknat si Fulan dan yang dilahirkan dari tulang rusuknya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/5; sanadnya shahih].

Diriwayatkan pula oleh Al-Bazaaar dari jalan Ahmad bin Manshuur bin Siyaar dari ‘Abdurrazzaaq yang selanjutnya seperti sanad Ahmad di atas; dimana disebutkan orang yang dilaknat tersebut adalah Al-Hakam bin Abil-‘Aash [Al-Musnad, no. 2197; shahih. Lihat pula Majma’uz-Zawaaid 5/241 no. 9230 dan Taariikhul-Islaam lidz-Dzahabiy 3/368, tahqiq : Dr. ‘Umar bin ‘Abdis-Salaam At-Tadmuriy; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 2/1410].

Riwayat ini cukup menunjukkan bahwa hadits yang dibawakan oleh Al-Balaadzuriy adalah ma’lul, tidak shahih. Ta’lil tersebut dikuatkan lagi oleh riwayat berikut; Al-Khallaal berkata:

وسألت أحمد، عن حديث شريك، عن ليث، عن طاوس، عن عبدالله بن عمرو، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : “يطلع عليكم رجل من أهل النار”، فطلع معاوية.
قال: إنما ابن طاوس، عن أبيه، عن عبد الله بن عمرو أو غيره، شك فيه.
قال الخلال: رواه عبدالرزاق، عن معمر، عن ابن طاوس، قال: سمعت فرخاش يحدث هذا الحديث عن أبي، عن عبد الله ابن عمرو

Dan aku pernah bertanya kepada Ahmad tentang hadits Syariik, dari Laits, dari Thaawuus, dari ‘Abdullah bin ‘Amru, ia berkata : “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni neraka’. Lalu muncullah Mu’aawiyyah”.

Ahmad berkata: “Hadits itu hanyalah diriwayatkan oleh Ibnu Thaawuus, dari ayahnya, dari ‘Abdulah bin ‘Amru atau selainnya, ia (Thaawuus) ragu-ragu dalam penyebutannya”

“‘Abdurrazzaaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawuus. Ia (Ibnu Thaawuus) berkata : Aku mendengar Furkhaasy menceritakan hadits ini dari ayahku, dari ‘Abdullah bin ‘Amr” [lihat : Al-Muntakhab minal-‘Ilal lil-Khallaal, hal. 228 no. 136]. Furkhaasy tidak diketahui identitasnya.

Dari sisi Al-Khallaal, riwayat ‘Abdurrazzaaq dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawus mempunyai dua jalan. Pertama dengan menyebut perantara antara Ibnu Thaawus dengan Thaawus (yaitu : Furkhaasy), dan yang kedua tidak menyebutkan perantara; sehingga nampak adanya idlthirab dalam sanadnya.

Besar kemungkinan kekeliruan riwayat Al-Baladzuriy disebabkan oleh ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam Ash-Shan’aaniy (120-211 H). Telah keliru sebagian orang yang menshahihkan riwayat ini karena memutlakkan ketsiqahan pada ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam. Apalagi ditunjukkan dengan adanya idlthirab dalam matan hadits di atas.

Ibnu Hajar berkata : “Tsiqah haafidh, penulis yang terkenal, mengalami kebutaan di akhir umurnya, sehingga berubah hapalannya. Cenderung ber-tasyayyu’” [At-Taqriib, hal. 607 no. 4092, tahqiq : Abul-Asybal Shaghiir bin Ahmad Al-Baakistaaniy; Daarul-‘Aashimah].

Al-Bukhaariy berkata : “Apa yang ia riwayatkan dari kitabnya, maka lebih shahih” [At-Taariikh Al-Kabiir, 6/130 no. 1933; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah]. Di lain tempat ia berkata : “Dan ‘Abdurrazzaaq telah keliru dalam sebagian hadits yang ia riwayatkan” [‘Ilal At-Tirmidziy Al-Kabiir, hal. 199 no. 352, tahqiq & ta’liq : As-Sayyid Shubhiy As-Saamiaaiy & As-Sayyid Abul-Ma’aathiy An-Nuuriy; Daaru ‘Alamil-Kutub, Cet. 1/1409].

Ahmad berkata : “Kami menemui ‘Abdurrazzaaq sebelum tahun 200 H yang waktu itu penglihatannya masih baik/sehat. Barangsiapa yang mendengar darinya setelah hilang penglihatannya (buta), maka penyimakan haditsnya itu lemah (dla’iifus-samaa’)” [Taariikh Abi Zur’ah, hal. 215 no.  1160, ta’liq : Khaliil Al-Manshuur; Cet. Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cet. 1/1417].

Ad-Daaruquthniy berkata : “Tsiqah, akan tetapi ia telah keliru dalam hadits-hadits dari Ma’mar” [Miizaanul-I’tidaal, 2/610 no. 5044, tahqiq : ‘Aliy bin Muhammad Al-Bukhaariy; Daarul-Ma’rifah]. An-Nasaa’i berkata : “Padanya terdapat kritikan bagi siapa saja menulis hadits darinya di akhir umurnya” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun, hal. 209 no. 379, Daarul-Ma’rifah – dicetak bersama dengan Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir lil-Bukhaariy].

Hadits-haditsnya yang diingakri para muhadditsiin ketika penglihatannya hilang (buta) adalah ketika ‘Abdurrazzaaq bermukin di Yamaan/Shan’aa di akhir hayatnya. Al-‘Abbaas bin ‘Abdil-‘Adhiim sekembalinya dari Shan’aa mengkritiknya dengan keras : “…Sesungguhnya ‘Abdurrazzaaq adalah pendusta, dan Muhammad bin ‘Umar Al-Waaqidiy lebih jujur daripadanya” [Adl-Dlu’afaa’ lil-‘Uqailiy, hal. 859 no. 1084, tahqiq : Hamdiy bin ‘Abdil-Majiid As-Salafiy; Daarush-Shumai’iy, Cet. 1/1420].

Abu Haatim berkata : “Ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/39 no. 204, tahqiq : Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy]. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, namun berkata : “…… Ia termasuk orang yang sering keliru jika meriwayatkan dari jurusan hapalannya…” [Ats-Tsiqaat, 8/412, tahqiq : Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy].

An-Nasaa’iy berkata : “Padanya terdapat kritikan, bagi siapa saja yang menulis darinya di akhir hayatnya” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun no. 379]. Ia (An-Nasaa’iy) juga membawakan satu contoh hadits munkar yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dengan berkata : “Hadits ini munkar. Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan mengingkari ‘Abdurrazzaaq atas hal tersebut. Hadits ini tidak diriwayatkan dari Ma’mar kecuali oleh ‘Abdurrazzaaq. Hadits ini telah diriwayatkan dari Ma’qil bin ‘Abdillah dan terdapat perselisihan padanya. Telah diriwayatkan dari Ma’qil, dari Ibraahiim bin Sa’d dari Az-Zuhriy (secara mursal). Hadits ini bukan termasuk hadits Az-Zuhriy, wallaahu a’lam [lihat : ‘Amalul-Yaum wal-Lailah, hal. 276 no. 311, tahqiq : Dr. Faaruq Hamaadah; Muasasah Ar-Risaalah, Cet. Thn. 1399].

Oleh karena itu, idlthirab sanad dan matan hadits ini sangat patut diduga berasal dari periwayatan Ishaaq bin Abi Israaiil dari ‘Abdurrazzaaq setelah berubah hapalannya.

Dan jika kita menempuh jalan tarjihdan ini sangat memungkinkan – maka riwayat yang menyebutkan Al-Hakam bin Abil-‘Aash (bukan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan) lebih shahih tanpa keraguan.

Selain itu, telah maklum bagi muhadditsiin, bahwa Musnad Al-Imam Ahmad dan Musnad Al-Bazzaar lebih kuat daripada Ansaabul-Asyraf, karena ia (Ansaabul-Asyraf) sebenarnya adalah kitab sejarah. Kitab-kitab riwayat itu mempunyai thabaqahthabaqah sebagaimana dijelaskan para ulama. [Al-Hujjatul-Baalighah oleh Waliyullah Ad-Dahlawiy, 1/133-135]

Al-Balaadzuriy adalah seorang sastrawan dan sejarawan; bukan termasuk dari kalangan muhadditsiin. Ia adalah seorang yang dekat dengan penguasa, memuji-muji mereka dengan bait-bait syi’ir-nya, dan tertimpa was-was di akhir hayatnya [lihat biografinya dalam Taariikh Dimasyq 6/74-76, tahqiq : ‘Umar bin Gharaamah Al-‘Umariy, Daarul-Fikr, Cet. Thn. 1415; Liisaanul-Miizaan 1/322-323 no. 982, Muassasah Al-A’lamiy, Cet. 2/1390; dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 13/12-163 no. 96, Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 9/1413]. Beda halnya dengan Ahmad bin Hanbal dan Ahmad bin ‘Amr Al-Bazzaar yang memang keduanya dikenal sebagai seorang muhaddits masyhuur.

Mungkin ada sebagian orang yang lemah pengetahuannya dalam ilmu hadits akan mengatakan bahwa dua jalan lemah tersebut bisa saling menguatkan sehingga derajatnya bisa naik pada hasan li-ghairihi.

Maka, sebenartnya dua jalan hadits di atas pada hakekatnya adalah satu, karena jalan riwayat yang pertama adalah sanad yang keliru sebagaimana ta’lil yang diberikan Ahmad bin Hanbal. Kalaupun seandainya kita menutup mata terhadap ta’lil ini, maka jalan sanad pertama dla’iif (dan matannya munkar) sebagaimana telah dijelaskan; sedangkan jalan sanad kedua sarat akan ‘illlat. Lantas, bagaimana keduanya bisa saling menguatkan?

Riwayat Al-Balaadzuriy ini juga bertentangan dengan hadits :

حَدَّثَنَا صَدَقَةُ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُوسَى عَنْ الْحَسَنِ سَمِعَ أَبَا بَكْرَةَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَالْحَسَنُ إِلَى جَنْبِهِ يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ مَرَّةً وَإِلَيْهِ مَرَّةً وَيَقُولُ ابْنِي هَذَا سَيِّدٌ وَلَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ

Telah menceritakan kepada kami Shadaqah : telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Uyainah : Telah menceritakan kepada kami Abu Muusaa, dari Al-Hasan bahwasannya ia mendengar Abu Bakrah : Aku mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar bersabda – ketika itu Al-Hasan berada di samping beliau, sesekali beliau melihat ke arah orang banyak dan sesekali melihat kepadanya : “Sesungguhnya anakku ini adalah sayyid (pemimpin) dan semoga dengan perantaraannya Allah akan mendamaikan dua kelompok besar dari kaum Muslimin [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3746]. [Diriwayatkan juga oleh Abu Daawud no. 4662, At-Tirmidziy no. 3773, An-Nasa’iy dalam Al-Fadlaail no. 63, Ahmad dalam Al-Musnad 5/37-38 & Fadlaailush-Shahaabah no. 1354, Al-Qathii’iy dalam tambahan terhadap kitab Fadlaailush-Shahaabah no. 1400, dan Ath-Thayaalisiy no. 874]

Perdamaian yang dilakukan oleh Al-Hasan bin ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhumaa di ‘tahun jama’ah adalah antara pendukungnya dan pendukung Mu’aawiyyah. Sejarah Ahlus-Sunnah dan Syi’ah mencatat penyerahan kekuasaan ini. Di sini beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tetap menyebut : ‘kaum muslimin’. Seandainya Mu’aawiyyah (dan juga para pendukungnya) adalah orang yang telah beliau ketahui akan mati tidak di atas agama Islam, niscaya beliau tidak akan menisbatkan Islam padanya.

Atau, mungkinkah Al-Hasan akan berdamai dan menyerahkan tampuk kekuasaan pada orang yang telah ia ketahui akan mati bukan di atas agama Islam (baca : kafir) ? Jika ia melakukannya, maka itu adalah satu kekeliruan, bahkan satu kemunkaran. Ini bertentangan dengan doktrin kemaksuman imam ala Syi’ah.

Jika ada orang Syi’ah mengatakan : “Ada kemungkinan Al-Hasan bin ‘Aliy tidak mengetahui sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa Mu’aawiyyah akan mati bukan di atas agama Islam”.

Maka, bagaimana bisa mereka – apalagi kita – benarkan omongan mereka sendiri dimana mereka mengetahui apa yang tidak diketahui imam mereka (Al-Hasan)? Bukankah pernyataan ini – lagi-lagi – bertentangan doktrin bahwa imam mewarisi seluruh ilmu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam?

Kalau mau jujur, sebenarnya tidak ada ruang bagi mereka – apalagi kita – untuk menerima hadits Al-Balaadzuriy di atas, dengan syarat : Mereka melihat rangkaian hadits-hadits lain yang berkenaan dengan Mu’aawiyyah (Kecuali jika mereka memainkan gaya klasik nan basi : ‘milih-milih riwayat).

Apakah para pendengki itu akan rujuk dari perkataannya dalam penshahihan hadits ini atau rujuk dari men-taqlid-i orang yang menshahihkan hadits ini? Dari pengalaman yang ada, nampaknya harapan untuk sadar susah diwujudkan, kecuali Allah menghendaki lain. Pengalaman pun menuntun kita agar hati-hati pada retorika penganut Syi’ah: “Kita hanya butuh riwayat yang shahih”. Riwayat shahih macam apa? Shahihnya riwayat Al-Bukhaariy, Muslim, dan yang lainnya tentang keutamaan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan di atas pun kemungkinan besar akan dibuang ke balik punggung mereka karena tidak sesuai dengan doktrin imam atau ulama mereka. Pokoknya, Mu’aawiyyah itu kafir. Titik. Akhirnya, sia-sialah pembicaraan kita….. ibarat berbicara dengan burung berkicau.

Untuk menelusuri langsung riwayat hadits yang dibahas di atas, bisa Anda rujuk ke http://www.islamweb.net/hadith/hadithsearch.php. Nanti Anda akan bisa melacak ke [ تخريج ] [ شواهد ] [ أطراف ] [ الأسانيد ] hadits tersebut secara komprehensif.

Ini saya copas-kan takhrij hadits di atas:

تخريج الحديث

 م

 طرف الحديث

الصحابي

اسم الكتاب

أفق

العزو

المصنف

سنة الوفاة

1

يطلع عليكم رجل من أهل النار فطلع معاوية

عبد الله بن عمرو

جزء العاشر من المنتخب

110

عبد الله بن أحمد بن محمد بن قدامة

620

2

يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت على غير ملتي قال وكنت تركت أبي قد وضع له وضوء فكنت كحابس البول مخافة أن يجيء قال فطلع معاوية فقال النبي صلى الله عليه وسلم هو هذا

عبد الله بن عمرو

أنساب الأشراف للبلاذري

1518

5:134

أحمد بن يحيى البلاذري

279

3

يطلع عليكم من هذا الفج رجل يموت يوم يموت على غير ملتي قال وكنت تركت أبي يلبس ثيابه فخشيت أن يطلع فطلع معاوية

عبد الله بن عمرو

أنساب الأشراف للبلاذري

1519

5:134

أحمد بن يحيى البلاذري

279

Ini kritik sanad (perawinya) dalam struktur pohonnya:

Pohon Perawi Hadits

Pohon Perawi Hadits

Wallahu’alam. (Dammam, KSA)

Di Atas dan Untuk Semua Golongan

Salah satu amanat Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) kepada alumninya adalah agar menjadi orang yang mampu berdiri “di atas dan untuk semua golongan.” Asas ini kemudian diartikan berbeda-beda oleh masing-masing alumni pasca keluar dari almamater Gontor. Hatta, sebagian alumni PMDG berpendapat bahwa ini merupakan bentuk pendidikan Gontor yang mendidik santrinya untuk merangkul semua golongan, meskipun sesat dan menyesatkan. Benarkah ini pendidikan untuk pluralisme?

Selain terma pluralisme, isme dari Barat yang dipaksakkan masuk ke ranah pemikiran Islam adalah sekularisme, liberalisme dan inklusivisme. Sebagian tokoh menyebutnya dengan singkatan sepilis (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme), mirip nama penyakit kelamin. Munculnya pluralisme di Indonesia, ditandai dengan munculnya buku-buku yang mengusung paham bahwa semua agama adalah sama benar, sama-sama benar semuanya, ini dikarenakan semua agama mengajarkan kebajikan. Selain buku-buku, artikel lepas di media massa, seminar dan riset, hingga kurikurulum di lembaga pendidikan Islam digalakkan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri, melalui komisi fatwanya telah mengharamkan paham ini. Salah satu dampak dari paham ini adalah skeptimisme teologis yang berujung kepada runtuhnya syari’at agama.

Sementara pesan Gontor agar alumninya menjadi perekat umat atau berdiri di atas dan untuk semua golongan tidaklah “muthlak” (tanpa prasyarat) umat ataupun golongan apapun. Dalam beberapa ceramah yang disampaikan Pimpinan Pondok Modern Gontor terkait dengan motto-motto yang sejenis di atas, bahwa umat atau golongan yang hendak direkatkan dan dinaungi adalah yang benar berjalan di atas rel agama Islam. KH. Imam Badri (alm), Pimpinan Pondok Gontor, dalam beberapa kesempatan mengatakan bahwa golongan pencuri dan penjahat bukan termasuk di dalamnya. Ini mengiyaskan, bahwa kelompok Islam di luar akidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah adalah golongan di luar semangat motto Gontor tersebut. Untuk golongan atau ummat semacam ini yang diberlakukan adalah sebagai objek dakwah agar kembali ke jalan yang lurus.

Terkait dengan motto di atas, adalah Panca Jiwa Pondok Modern yang terakhir “berpikiran bebas”. Berpikiran bebas di sini ternyata “muqayyad” (terikat) dengan syarat harus berpengetahuan luas lebih dahulu. Bukan tanpa sengaja Panca Jiwa ini diurut sedemikian rupa, tapi memang benar-benar disusun sebagai panduan hidup santri di masyarakat kelak. Karena dengan pengetahuan yang luas, diharapkan tidak menjadi liar dengan kebebasan berpikirnya. Misalnya, dalam Islam, kebebasan yang diperbolehkan adalah dalam memilih madzhab fikih, bukan firqah akidah. Karena bagi yang cukup pengetahuannya, tidak akan terjerumus ke dalam akidah yang salah, meski bermodal berpikiran bebas. Demikian pula gaya hidup, pola ekonomi, dan seterusnya, benarkita bebas memilih di atas sebuah ilmu (agama).

Tetapi jika kita lihat di tengah masyarakat, ternyata tidak mudah mengejewantahkan motto dan Panca Jiwa Pondok Gontor di atas. Yang lebih rumit lagi, menghadapi sesama alumni Gontor yang satu perguruan, satu ilmu, tetapi beda memahaminya. Sebagian alumni Gontor berusaha menjadi perekat umat, di atas dan untuk semua golongan, serta mempratekkan berpikiran bebas, tetapi sayang, golongan yang diayomi tergolong sesat dan menyesatkan, umat yang ingin dirangkul beda tujuan, juga berpikiran bebas yang kebablasan tanpa ilmu. Wallahu’alam bish showwab.[]

Tragedi Senioritas

Sejarah pendidikan di Indonesia pernah menorehkan lembaran kelam, kisah kematian Cliff Muntu, seorang praja IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) asal Sulawesi Utara. Dia tewas di tangan seniornya. Tercatat 26 orang terlibat, di antaranya 5 Nindya Praja IPDN telah ditetapkan sebagai tersangka. Kisah memilukan ini bukan satu-satunya yang terjadi di dunia pendidikan, masih banyak yang lain dan bisa jadi lebih tragis, hanya tidak terungkap. Bagaimana di Balai Pendidikan Pondok Modern Darussalam Gontor? Adakah jatuh korban juga atas kesewenangan-wenangan santri seniornya yang terkenal “malikul ma’had“?

Pondok Gontor, berdiri pada 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 1345. Dimulai dengan Tarbiyatul Athfal (TA), kemudian berdiri Sullamul Muta’alamin (1932) sebagai lanjutan TA, dan KMI (Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah) dibuka pada tahun 1936. Bertepatan dengan peresmian Sekolah Guru Islam inilah, saat “Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor”, nama Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) mulai digunakan.

Dalam ceramah-ceramah pembukaan awal tahun ajaran baru, Kyai, sebagai Pimpinan PMDG, menyampaikan pidato-pidato berkenaan dengan sistem pendidikan di Gontor. Kuliah umum yang berlangsung beberapa babak, diisi dengan ceramah tentang segala hal yang ada di PMDG. Karena pentingnya acara ini, tidak ada satu orangpun yang diperkenankan mangkir, baik santri maupun guru, yunior maupun senior.

Di antara metode pendidikan di Gontor adalah keteladanan, penciptaan miliu, pengarahan, pembiasaan, dan penugasan. Mulai dari metode yang pertama hingga terakhir dilakukan oleh dan untuk santri. Di sinilah senioritas mempunyai andil yang cukup besar agar metode ini teraplikasi di lapangan. Dibentuklah organisasi-organisasi agar semua program berjalan baik dan teroganisir. Santri senior yang duduk di kelas VI KMI menjadi panglima tertinggi penggerak roda organisasi santri ini.

Meskipun seorang santri senior di tingkat akhir KMI, usianya masih cukup muda, sementara tugasnya seperti Bagian Keamanan, Pengajaran, Penerangan, dan sebagainya, merupakan amanah yang tidak mudah. Seakan-akan mereka dituntut dan dipaksakan menjadi dewasa; menjadi teladan santri yunior, mengarahkan, menghukum, hingga penegak jalannya roda kehidupan pondok. Semuanya dimaknai sebagai pendidikan. Dan memang tidak sia-sia, hasil dari penggemblengan metode tersebut, terbukti telah melahirkan orang-orang yang diakui kecakapannya di pelbagai bidang kehidupan; sebagai guru, mubaligh, pemimpin umat, penulis, pemikir, hingga pengusaha.

Meskipun demikian, tak ada gading yang tak retak. Sebagai bentuk kesempurnaan manusia, ada kekurangan berupa salah dan dosa. Ini juga tercermin dari bentuk karakter kepemimpinan para santri senior. Di antaranya, karena tidak kuat menerima amanah, bertindak sewenang-wenang dalam menghukum, berprilaku arogan, atau bahkan melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Sikap negatif setelah menjadi orang yang paling dituakan dan dipercaya, menjadi bumerang baginya. Akhir kata, yang semula disegani dan dihormati, berbalik menjadi dilecehkan dan direndahkan.

Karena peraturan disiplin di Gontor tidak pandang bulu, supremasi hukum benar-benar ditegakkan, maka tidak jarang memakan korban orang-orang senior yang tadinya berkedudukan penting dan strategis. Seakan-akan tidak kuatir instabilitas, Kyai sebagai pimpinan pondok bertindak tegas; memecat dan mengusir siapa santri yang berbuat kesalahan besar, meski seorang berkedudukan penting. Disiplin semacam inilah yang menyelamatkan Gontor dari kesewenang-wenangan para senior santri dalam proses pendidikan di pondok. Hatta, tidak terjadi yang serius seperti kasus IPDN di awal tulisan ini. Pemerintah semestinya dapat meniru cara Gontor, daripada melaksanakan perintah Wapres memasang ratusan kamera CCTV di beberapa sudut kompleks IPDN hanya untuk mengamankan yunior dari seniornya. (Berita IPDN di http://hariansib.com/?p=406).

Adapun santri Gontor setelah menyandang gelar alumni, sifat senior yang tidak berwibawa seperti di atas, ada yang dibawa-bawa hingga hidup di tengah masyarakat. Tentunya, tidak ada yang bisa “mengusirnya” dari kehidupan masyarakat ketika bersikap negatif karena kepongahan senioritasnya. Hanya, sedikit berbeda saat di dalam dan di luar pondok, sikap senior yang semena-mena kepada yunior di bawahnya, bukan dengan penghukuman atau sejenisnya, tapi dalam bentuk yang lebih abstrak. Seperti dalam sebuah diskusi keilmuan, sikap senior yang negatif ditunjukkan dengan selalu merasa dirinya paling benar, tidak mau disalahkan dan enggan mengakui kebenaran hanya karena yang menyampaikan yuniornya. Dalam hal berargumen, jika dipatahkan pendapat sang senior atau ada yang tidak disepakati, maka sikap angkuh senior muncul. Karena sikap “tidak mau didahului” tersebut, sehingga dicari jalan agar yunior tidak tampil, dibuat semacam “physic war”. Tentunya hal-hal seperti ini sangat disayangkan, karena Gontor dengan pendidikannya yang komprehensif tidak pernah mendidik santri-santrinya menjadi seperti ini.

Inilah tragedi senioritas yang sesungguhnya. Jika kematian Cliff Muntu dapat dituntaskan dengan jalur hukum dan ada kepastian ending-nya. Tapi pembunuhan karakter, pengkibirian kreativitas, mempersempit jalan orang untuk maju dan berkembang, adalah suatu bahaya laten yang berdampak luas dan panjang. Tidak hanya berdampak kepada satu-dua orang dan kasusnya dapat dituntaskan, tetapi memungkinkan generasi umat mendatang menjadi jumud alias stagnan. Jika demikian, kepada siapa peran taujihat wa irsyadat harus diperankan? Padahal, guru kencing berdiri, murid dapat kencing sambil berlari. Mawaslah diri kita jika telah dianggap senior, hargai yang muda dan hormati yang tua. Sesungguhnya agama Islam telah banyak memberi tuntutan hidup yang sempunra, hablun min an-naas dan hablun min Allah. Wallahu’alam bi ash-shawwab. (Hayy Madinatul Ummal, Dammam City, KSA, 16 R. Tsani 1431)